About Me

My photo
Jakarta, DKI Jakarta, Indonesia
A Man With Orange Flavor
evan rizky ashari On Wednesday 29 December 2010
Ibu Sri (bukan nama sebenarnya), berumur sekitar 40 tahun, tinggal di desa Sragen (Jawa Tengah), adalah seorang pengusaha warung makan sederhana. Pada suatu hari terpaksa meminjam uang sejumlah Rp 1 juta dari pelepas uang (atau lebih dikenal sebagai rentenir). Tiap bulan dia harus membayar Rp 100.000, tetapi pinjaman tersebut tidak pernah lunas, sebab bunganya 10% sebulan. Jadi Rp 100.000 yang dia angsur selama ini hanya bunganya saja, sementara untuk pokoknya tidak pernah lunas. Kemudian atas ajakan kawannya, dia bergabung dalam suatu kelompok ibu-ibu para pengusaha mikro lainnya, yang lebih dikenal dengan istilah KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat). Setelah kelompoknya dipandang cukup solid, oleh pendampingnya diberi kesempatan untuk mulai meminjam ke Lembaga Keuangan Mikro, masing-masing Rp 1 juta. Oleh Ibu Sri pinjaman tersebut digunakan untuk membayar lunas semua hutangnya pada pelepas uang. Kemudian setiap bulannya Ibu Sri tetap membayar Rp 100.000 kepada kelompoknya, dan setelah 12 kali angsuran hutangnya dinyatakan lunas. Ibu Sri sangat bersyukur dan sejak itu penghasilannya meningkat dengan Rp 100.000 setiap bulannya, karena pinjamannya sudah lunas.

Itulah keuangan mikro, dengan Rp 1 juta, dapat mengubah kehidupan Ibu Sri dan keluarganya. Ia memang tidak mempunyai akses ke Lembaga Keuangan seperti bank, sebab tak punya agunan maupun tabungan. Satu-satunya akses adalah ke para pelepas uang, dan itu berarti ia akan menjadi miskin seumur hidupnya, karena tingginya bunga pinjaman (10 – 20 % setiap bulan). Berapa banyak orang-orang seperti Ibu Sri di Indonesia? Yaitu orang-orang miskin, tetapi punya usaha yang sangat kecil (makanya disebut usaha mikro). Menurut data dari PNM (Permodalan Nasional Madani), jumlah pengusaha mikro di Indonesia ada 34,5 juta unit, dan dengan keluarganya (istri, suami, anak-anak) rata-rata 4 orang menjadi 34,5 x 4 = 138 juta jiwa, yang berarti lebih dari setengah penduduk Indonesia. Apakah mereka miskin? Umumnya begitu. Kriterianya apa? Nah, di sinilah kita belum pernah punya kesepakatan bersama, dan perdebatan serta adu argumentasi masih berlangsung terus. Masing-masing institusi memakai kriteria yang berbeda-beda, sehingga angka-angka kemiskinan selalu simpang siur. Secara global, ada semacam pengertian tentang kemiskinan yang dapat diterima dan dimengerti satu sama lain, yaitu apabila penghasilannya kurang dari: US$ 1 per hari per orang. Jadi satu keluarga dengan anggota suami, istri dan 2 anak, perlu punya penghasilan 4 X US$1 X Rp 10.000 = Rp40. 000/ hari atau Rp 1.200.000 sebulan, agar tidak tergolong miskin. Wah, kalau begitu angka kemiskinan akan jadi besar sekali? Belum tentu, asalkan usaha-usaha mikro, baik di desa-desa maupun di sekitar kota besar (daerah urban) dapat tumbuh baik.

Mari kita lihat pengalaman Ibu Sari di Desa Parung Bogor. Suaminya bekerja sebagai pengemudi, dan dia sendiri sebagai pedagang sayur mayur keperluan sehari-hari, bertempat di rumahnya. Setiap pagi, ketika orang lain masih nyenyak tidur, pada jam 02.00 sampai 04.00, dengan ditemani suaminya dia belanja sayur mayur di pasar Parung. Dia memilih sayur dan makanan sehari-hari, dengan ragam dan jumlah yang kira-kira akan habis terjual hari itu juga. Biasanya dia membelanjakan sekitar Rp 500.000 sampai Rp 600.000 setiap hari, yang terdiri dari: ayam 7 ekor, daging 2 kg, ikan 10 ekor, tempe 70 potong, tahu 200 potong dan sayur mayur lengkap untuk membuat; sambal-sambalan, sayur sop, sayur asem, sayur lodeh dan lain-lain. Dia menjualnya dengan harga cukup ringan (kompetitif istilah kerennya), seperti: sambalan Rp 1.000, sop Rp 1000, sayur asem Rp 1.500, sayur lodeh Rp 2.000. Sisa yang tidak laku dimakan sendiri, atau diberikan kepada orang-orang yang kurang beruntung sebagai sedekah, sebab tidak dapat dijual kembali keesokan harinya. Tetapi kalau ayam, oleh Ibu Sari diberi bumbu, dan dijual sebagai ayam kuning keesokan harinya. Setiap hari penjualannya mencapai rata-rata Rp 700.000, dan masih ada yang menjadi piutang, karena langganannya ada yang penghasilannya bulanan, sehingga baru bisa membayar pada akhir bulan. Tetapi keluarga ini tidak mau menganggap mereka berpenghasilan Rp 2 juta per bulan. Tetapi mereka lebih memilih menganggap penghasilan bersihnya Rp 40.000 sehari, sebab suami dan kedua anaknya mengambil masing-masing Rp 10.000 sehari, dan belanja keperluan rumah tangga lainnya. Mereka mensyukuri Rp 40.000/hari bersih, dari pada menganggap penghasilannya sekitar Rp 2 juta sebulan. Tetapi penghasilan mereka melebihiUS$ 1 per orang per hari. Sehingga mereka bukan tergolong miskin.

Usaha mikro memiliki laba atau profit margin yang cukup tinggi. Sebagai contoh pedagang sayur keliling di komplek-komplek perumahan. Harga tempe di pasar Rp 500, di komplek perumahan bisa mencapai Rp 1.500 – tiga kali lipat. Sayur kangkung di pasar 1 ikat = Rp 250, di gedongan bisa mencapai Rp 1.000 – empat kali lipat. Namun pelanggannya puas, karena tidak usah repot pergi ke pasar atau supermarket dan boleh beli secukupnya saja, jadi “win-win”. Bagi usaha mikro, yang terpenting bukan bunga pinjaman yang rendah, tetapi akses ke lembaga keuangan yang dapat memberikan pinjaman tanpa agunan dan prosedurnya mudah serta dananya dapat dicairkan tepat waktu dan tepat jumlah. Pinjaman dana itu pada umumnya dibutuhkan untuk tambahan modal kerja. Mengapa diperlukan? Karena harga-harga naik dari waktu ke waktu, maka modal kerja yang ada tidak mencukupi lagi untuk membeli jumlah barang dagangan yang sama banyaknya. Apalagi kalau hasilnya menurun, masih terpakai untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga modal kerjanya makin susut lagi. Disinilah keuangan mikro berperan untuk menyelamatkan mereka dari kemiskinan. Kalau modal kerjanya sudah cukup, maka kebutuhan mendesak lainnya akan menyusul, misalnya biaya sekolah anak-anak. Mereka tahu betul tanggung jawabnya sebagai orang tua, untuk memberikan pendidikan yang sebaik mungkin bagi anak-anaknya yang tercinta.

No comments:

Post a Comment